Apakah Anda ingat hidup sebelum adanya internet?

Gambar by ai

Pernahkah Anda membayangkan hidup tanpa internet? Atau, lebih tepatnya, apakah Anda ingat seperti apa rasanya hidup sebelum semua orang terkoneksi 24 jam sehari?

Sebelum internet menjadi bagian dari napas kehidupan, dunia berjalan dengan ritme yang lebih lambat—namun lebih terasa nyata. Informasi tidak bisa dicari dalam hitungan detik. Jika ingin tahu sesuatu, kita pergi ke perpustakaan, membuka ensiklopedia, atau bertanya langsung pada orang lain. Surat kabar pagi menjadi sumber utama berita, dan televisi adalah jendela kecil menuju dunia luar.

Komunikasi? Tidak ada WhatsApp atau media sosial. Kita menulis surat dengan tangan, menyisipkannya ke dalam amplop, dan menunggu berhari-hari hingga sampai ke tujuan. Menelepon pun harus dilakukan lewat telepon rumah—dan jika rumah tak punya, kita antre di wartel atau telepon umum dengan koin di tangan.

Bermain pun sangat berbeda. Anak-anak tumbuh bersama permainan tradisional, dari petak umpet hingga kelereng. Berkumpul di luar rumah adalah bagian dari rutinitas. Setiap teriakan “ayo main!” dari luar jendela adalah undangan petualangan yang tak terduga.

Belanja? Tidak ada e-commerce. Kita pergi ke pasar tradisional, tawar-menawar langsung dengan penjual. Musik didengar dari kaset atau radio, dan menonton film berarti menunggu jadwal di televisi atau pergi ke bioskop.

Tentu saja, hidup tanpa internet tidak selalu mudah. Informasi terbatas, akses pendidikan dan pekerjaan tidak secepat sekarang, dan segala hal butuh lebih banyak usaha. Tapi di balik keterbatasan itu, ada kehangatan. Waktu terasa lebih panjang. Hubungan terasa lebih mendalam. Dunia terasa lebih dekat karena kita benar-benar hadir dalam setiap momen.

Kini, internet memberi kita kenyamanan dan efisiensi luar biasa. Namun, sesekali mengenang masa sebelum internet mengajarkan kita satu hal penting: bahwa kedekatan bukan hanya soal koneksi digital, tapi juga soal kehadiran yang sungguh-sungguh.

Ega patria aji