Hujan Tak Reda, Harapan Petani Sayur di Lereng Wilis Ikut Luruh

PONOROGO – 23 Mei 2025
Pagi itu, kabut masih menggantung rendah di atas lembah Pudak Kulon. Udara basah menyelimuti dedaunan yang menggigil diam. Di tengah hamparan sayur-mayur yang biasanya subur dan menghijau, kini tampak lesu. Daun-daun prei rebah ke tanah, batang bunga kol menghitam, dan kacang kapri kehilangan kilau segarnya.

Langgeng Setiyono, 30 tahun, berdiri di antara petaknya yang tak lagi rapi. Ia memandangi barisan tanaman yang sebagian besar mulai membusuk. Dengan tangan kanan, ia mencabut satu per satu batang yang tak selamat. Dengan tangan kiri, ia menepis keputusasaan.
“Kondisi tanaman saya seperti ini, Mas… Banyak yang rusak. Ya akibat curah hujan tinggi akhir-akhir ini. Biasanya bisa panen dua ton, sekarang cuma satu ton. Itu pun banyak yang nggak bisa dijual,” katanya dengan suara pelan, seperti berbicara pada dirinya sendiri.

Selama dua pekan terakhir, hujan turun hampir setiap hari di wilayah lereng Gunung Wilis, Ponorogo, Jawa Timur. Tanpa jeda yang cukup untuk tanah mengering atau matahari memberi tenaga, tanaman-tanaman sayur menjadi korban pertama. Busuk sebelum berkembang. Layu sebelum sempat dipanen.
Tak jauh dari lahan Langgeng, Jarno, seorang petani lain yang berusia 53 tahun, tengah menyingkirkan gulungan plastik penutup tanaman. Tangan tuanya bergerak pelan, menunjukkan kelelahan bukan hanya dari fisik, tapi juga dari beban pikiran.
“Ini rusak karena hujan terus, Mas. Tanaman ya hancur, harga juga ikut rusak. Permintaan pasar juga sedikit. Pedagang banyak nolak karena kualitas jelek,” keluhnya.
Kenyataan pahit itu terasa semakin berat karena tidak hanya hasil panen yang berkurang, namun harga jualnya pun anjlok.Bawang prei yang biasa dijual dengan harga Rp7.000 hingga Rp10.000 per kilogram, kini hanya laku Rp3.000.Sawi turun dari Rp5.000 menjadi Rp2.500.Bunga kol yang dulu bisa dibanggakan karena keindahan dan harganya yang stabil, sekarang hanya dihargai Rp1.500 per kilogram.Dan yang paling memukul, kacang kapri—yang butuh ketelatenan ekstra dalam perawatan—merosot dari Rp50.000 menjadi hanya Rp12.000 per kilogram.
Bagi sebagian orang, sayur hanyalah bagian dari belanja harian. Tapi bagi Langgeng dan Jarno, sayuran adalah nadi kehidupan. Di sanalah mereka bertaruh hidup, membiayai sekolah anak, menambal atap rumah yang bocor, hingga mencicil motor tua untuk angkut hasil panen.
Di tengah gempuran cuaca ekstrem dan harga pasar yang tak bersahabat, para petani ini tetap bertahan. Mereka tidak menyerah, meski tak tahu akan panen apa bulan depan.
“Yang bisa kami lakukan ya bertahan. Nunggu cuaca membaik. Harapan itu belum kami cabut,” kata Langgeng sambil menatap barisan tanaman yang masih tersisa.
Di tanah tinggi Pudak Kulon, harapan itu memang belum sepenuhnya luruh. Tapi jelas, mereka butuh lebih dari sekadar doa.
Reporter: Patria Pujiono/ Redaksi Naraloka