
Ponorogo – Di balik sepinya aula latihan di salah satu sudut Ponorogo, terdengar denting pelindung tubuh dan napas tertahan para atlet muda. Tak ada sorotan kamera, tak ada tepuk tangan penonton. Hanya peluh dan semangat yang tak pernah padam. Itulah suasana persiapan tim jujitsu Ponorogo menjelang keberangkatan mereka ke Malang, tempat digelarnya Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) Jawa Timur IX tahun 2025.
Sebanyak 16 atlet telah dipersiapkan. Namun kali ini, wajah-wajah lama yang dulu berdiri gagah di podium juara tak lagi ada. Mereka telah naik kelas—menuju level nasional di PON. Maka kini, giliran generasi baru yang harus memikul harapan dan kebanggaan Ponorogo.
“Kami sadar, ini bukan perkara mudah. Tapi semangat anak-anak luar biasa. Mereka tahu, mereka sedang membawa nama besar,” ujar Wahyu Setiawan, manajer tim jujitsu Ponorogo, penuh keyakinan.
Ponorogo bukan nama asing dalam dunia jujitsu Jawa Timur. Pada Porprov sebelumnya, mereka keluar sebagai salah satu kekuatan utama, mengantongi tiga emas dan dua perak. Tak heran jika julukan “Raja Jujitsu Jatim” sempat melekat kuat pada kontingen ini.
Namun tahun ini, Wahyu tak berbicara soal medali emas sebagai target utama. Ia lebih banyak bicara soal proses dan regenerasi. “Target kami realistis: dua sampai tiga medali. Tapi lebih dari itu, kami ingin menyiapkan generasi baru. Anak-anak ini adalah masa depan jujitsu Ponorogo,” katanya.
Tim akan berangkat Jumat, 27 Juni 2025 ke Kota Malang, di mana pertandingan jujitsu akan digelar di Graha Polinema pada 28 Juni hingga 1 Juli. Ajang Porprov Jatim kali ini memang megah: melibatkan lebih dari 16.000 atlet dari seluruh daerah, tersebar di ratusan nomor dan puluhan cabor, termasuk jujitsu.
Namun di tengah megahnya gelaran, tak semua datang dengan fasilitas lengkap atau atlet unggulan. Ponorogo datang dengan kekuatan seadanya—namun dengan semangat yang tak pernah kekurangan.
Di Porprov Jatim IX ini, Ponorogo memang tidak lagi datang dengan kekuatan penuh. Tapi mereka datang dengan sesuatu yang lebih bernilai: semangat untuk tumbuh, belajar, dan melanjutkan tradisi juara. Karena menjadi “raja” bukan soal berapa medali yang diraih—tetapi bagaimana semangat itu diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
( Tim naraloka )