
Di balik hingar-bingar kota dan pertumbuhan ekonomi yang menjanjikan, Afrika Barat tengah menghadapi krisis gizi yang diam-diam mengintai. Di Nigeria, pola makan masyarakat mengalami perubahan drastis. Konsumsi sayuran, buah-buahan, dan protein hewani menurun, digantikan oleh makanan ringan olahan yang praktis namun minim nutrisi. Restoran cepat saji tumbuh subur, menjadi favorit generasi muda yang hidup serba cepat.
Namun, Nigeria bukan satu-satunya. Di Gambia, masalah gizi justru menjadi lebih kompleks. Di sana, kekurangan gizi yang belum tuntas kini berdampingan dengan angka obesitas yang terus menanjak. Anak-anak perempuan berusia 5 hingga 19 tahun menjadi kelompok yang paling rentan. Meski ada perbaikan dalam penanganan anemia pada perempuan usia subur, muncul kekhawatiran baru: generasi muda yang kelebihan berat badan.
Tantangan ini mendorong lahirnya upaya kolektif di tingkat regional. Sejak 2007, Komunitas Ekonomi Negara-Negara Afrika Barat (ECOWAS) telah merancang standar fortifikasi pangan. Tujuannya sederhana: memperkaya bahan makanan pokok seperti minyak goreng dan tepung terigu dengan vitamin A, zat besi, dan asam folat. Tapi di lapangan, penerapannya belum merata. Nigeria sudah mewajibkan fortifikasi pada beberapa produk, sementara Gambia masih tertinggal.
Shawn Baker, yang pernah menjabat sebagai Kepala Ahli Gizi USAID, menyebut fortifikasi sebagai langkah murah namun berdampak besar. Menurutnya, begitu perusahaan pangan memahami manfaat kesehatan yang dibawa, biaya tambahan yang kecil bukanlah halangan.
Di tengah tantangan gizi yang terus berkembang, fortifikasi pangan dinilai sebagai investasi berharga untuk masa depan. Terutama bagi remaja, perempuan, dan keluarga berpenghasilan rendah yang paling terdampak. Kini, pertanyaannya bukan lagi apakah fortifikasi berhasil—melainkan, apakah kita benar-benar mau menjadikannya bagian dari solusi yang inklusif bagi semua.
Laporan ini merupakan bagian dari African Union Media Fellowship dengan dukungan dari Nutrition International.(epa)